Author: Iwan Sulistyo
Iwan Sulistyo is an Assistant Professor in the Department of International Relations at Universitas Lampung, Indonesia. View all posts by Iwan Sulistyo
Tak perlu repot-repot mencari makanan untuk menurunkan berat badan. Sejumlah makanan Indonesia cocok dikonsumsi saat diet.
Pilihlah makanan Indonesia yang diolah dengan baik, rendah kalori, dan kaya nutrisi. Hindari mengonsumsi makanan Indonesia yang berminyak dan bersantan karena tinggi kalori sehingga dapat membuat diet gagal.
Berikut makanan Indonesia yang cocok untuk diet.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ikan bakar adalah makanan Indonesia yang cocok untuk diet. (Foto: iStockphoto/Reezky Pradata)
Olahan ikan bakar baik dikonsumsi saat diet. Ikan bakar rendah kalori dan juga mengandung nutrisi yang tinggi, terutama ikan berlemak karena kaya protein dan omega-3.
Ikan kembung berukuran 80 gram mengandung sekitar 80 kalori.
Selain ikan bakar, pepes ikan juga cocok dikonsumsi saat diet. Rempah pada pepes ikan seperti kunyit menambah kandungan gizi dalam ikan.
Pepes ikan kembung berukuran 100 gram mengandung 167 kalori. Selain rendah kalori, kalsium pada ikan kembung juga membantu menyehatkan tulang.
Pepes tahu adalah salah satu makanan Indonesia yang cocok untuk diet. (Foto: iStockphoto/Ika Rahma)
Pepes tahu mengandung vitamin, asam amino, fosfor, kalsium, dan nutrisi lain yang baik untuk untuk tubuh saat diet.
Satu pepes tahun mengandung sekitar 63 kalori.
Olahan kacang kedelai lainnya yang dapat dimakan saat diet adalah pepes tempe. Tempe kaya akan protein dan mineral.
Selain kaya nutrisi, proses pembuatan tempe yang dilakukan dengan cara fermentasi membuat tempe memiliki kandungan prebiotik. Setiap 100 gram pepes tempe memuat 75 kalori.
Gado-gado adalah campuran sayuran matang yang sudah direbus seperti labu, kangkung, kacang panjang, tahu, tempe, kentang, telur. Perpaduan sayuran dan protein pada gado-gado membuat makanan ini baik dikonsumsi saat diet.
Gado-gado memiliki 132 kalori per 100 gram.
Tongkol Asam Padeh
Makanan Indonesia yang cocok untuk diet berikutnya yaitu tongkol asam padeh. Makanan ini berasal dari ranah Minang.
Per 100 gram sajian ikan tongkol asam padeh mengandung 119 kalori.
Sayur nangka juga baik dimakan saat diet. Serat pada nangka dapat memperlancar pencernaan. Nangka juga dapat memberi efek kenyang lebih lama.
Kadar sodium yang rendah pada nangka dapat membantu menurunkan berat badan. Olahan sayur nangka hanya mengandung 66 kalori per 100 gram.
Jika gado-gado berisi sayuran yang sudah direbus, karedok terdiri dari sayuran mentah seperti timun, taoge, kol, kacang panjang, kemangi, terong dengan siraman bumbu kacang.
Makan karedok saat diet tidak akan membuat Anda gemuk selagi tidak berlebihan. Per 100 gram porsi karedok mengandung 125 kalori
Itulah 8 makanan Indonesia yang cocok untuk diet. Masukkan menu-menu ini dalam asupan harian Anda saat diet.
Belanja di App banyak untungnya:
Belanja di App banyak untungnya:
Oleh : Erica Novianti Putri – Mahasiswi Prodi Komunikasi Penyiaran Islam STAIN Sultan Abdurrahman Kepri
Pendahuluan Sejarah mencatat bahwa dahulu Melayu merupakan sebuah kerajaan yang berada Johor yang kemudian membuka tempat kedudukan baru sebagai pusat kerajaan di Hulu Sungai Carang, yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim Syah, yang dibantu oleh Laksemana Tun Abdul Jamil, pada tahun 1673. Sejarah pun sudah mencatat, bahwa sejak pemerintahan Kerajaan Melayu berpusat di Hulu Sungai Carang yang sekarang berada dalam wilayah Kelurahan Kampung Bugis, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Provinsi Kepulauan Riau. Dimana daerah tersebut sudah tumbuh dan berkembang kegiatan atau aktivitas ilmu pengetahuan, baik agama, pemerintahan, pengobatan atau pun bahasa dan sastra serta berbagai kebudayan-kebudayan. Kebudayaan Melayu tersebut menjadi sebagai salah satu dari berbagai macam kebudayaan yang hidup, tumbuh dan berkembang. Kebudayaan Melayu merupakan kebudayaan secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat. Kebudayaan Melayu merupakan salah satu pilar penopang kebudayaan nasional Indonesia khususnya dan kebudayaan dunia umumnya, di samping aneka budaya lainnya (disbud.kepriprov.go.id). Budaya Melayu tumbuh subur dan kental di tengah-tengah masyarakat Indonesia sekarang salah satunya dibidang Bahasa.
Apa itu bahasa? Penjelasan mengenai bahasa itu sendiri merupakan suatu penyampaian untuk suatu informasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa juga sudah ada sejak berabad-abad lalu. Bahasa melayu mempunyai peranan yang sangat penting di berbagai bidang atau kegiatan di indonesia pada masa lalu. Bahasa pada zaman dahulu digunakan tidak hanya sebagai alat komunikasi untuk bidang perdagangan. Tetapi juga sebagai alat komunikasi massa. Politik (perjanjian antar kerajaan). Sejak itulah penguasaan dan pemakaian bahasa melayu menyebar ke seluruh pelosok kepulauan indonesia. Bahasa melayu berkembang berdasarkan interaksi dengan lingkungan sosial yang bersinggungan antar ruang dan waktu, yang terjadi suatu hal yang sedang mempengaruhi penggunaan bahasa. historis tersebut dapat dilihat dari asal-usul bahasa yang merupakan awal komunikasi antar orang yang menggunakan bahasa isyarat ke kata-kata yang semakin komunikatif.
Slamet muljana di dalam bukunya yang berjudul Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara menunjukan bahwa bahasa Melayu berasal dari bahasa yang ada di daerah sekitar Indocina, meliputi, Campa, Mon-Khmer, Bahnar, Rade, jarai, sedang, Mergui, Khaosan , Shan, dan sejenisnya. para pakar lainnya mencari asal usul bahasa Melayu sampai ke Melayu purba, proto-Malay , dan Proto-Malayic. Proto-Malay adalah bahasa Melayu pertama sedangkan Proto-Malayic adalah bahasa rumpun melayu pertama (1897:21)
Sebelum menjadi ejaan yang di sempurnakan (EYD), bahasa Indonesia merupakan sebuah varian bahasa melayu. Khususnya bahasa Melayu Riau. Dari sebuah kepulauan perbatasan Indonesia-Malaysia ini, seorang laki-laki yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional lahir. Seorang yang pada masa hidupnya berhasil meninggalkan mahakarya yang luar biasa.
Beliau yaitu Raja Ali Haji bin Raja Ahmad yang dilahirkan dan dibesarkan di sebuah pulau kecil di Riau, yang pada masa itu menjadi pusat kebudayaan melayu dan pusat dari ilmu pengetahuan islam di kepulauan melayu, yakni pulau penyengat pada tahun 1808 abad XIX. Raja Ali Haji merupakan keturunan Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV dari Kesultanan Lingga-Riau yang juga bangsawan Bugis. Sebagai anak laki-laki dari golongan bangsawan Riau, Raja Ali Haji pernah menempati berbagai jabatan penting dalam kerajaan Riau-Johor.
Raja Ali Haji memiliki pengetahuan yang luas tentang agama Islam dan ilmu yang berkaitan dengan administrasi. Pengetahuan agama yang mendalam diperolehnya dari para ulama-ulama yang baerasal dari daerah setempat dan luar negari. Karena itu beliau pernah menjadi guru agama dan bahasa Arab.
Raja Ali Haji juga dibesarkan dengan berbagai ilmu di bidang lain, dan telah menghasilkan karya dalam berbagai bidang, yaitu agama, bahasa, sastra, dan sejarah. Sementara itu, di bidang politik dan tata negara, Raja Ali Haji secara khusus menulis Muqaddimah fa al-Tsamarat al-Muhimmah.
Tulisan karya beliau ini lah yang nantinya akan akan mengkaji satu aspek dari pemikiran dan kontribusi Raja Ali Haji di bidang bahasa Melayu, yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia sekarang ini. Bahasa Melayu memang menjadi salah satu bidang utama Raja Ali Haji.
Hal ini memang seiring dengan tampilnya pulau Penyengat sebagai pusat kegiatan intelektual dan budaya Melayu kerajaan Riau-Lingga pada akhir abad ke-19 (Matheson, 1991: 6). Di samping itu, kebijakan politik kolonial Belanda yang membatasi kegiatan politik pihak kerajaan juga semakin mendorong sejumah elit kerajaan berkonsentrasi pada kegiatan intelektual untuk pengembangan budaya Melayu.
Menyangkut bidang bahasa Melayu, Raja Ali Haji menulis setidaknya tiga karya. Ketiganya adalah Gurindam Dua Belas yang masih terkenal di zaman sekarang, dimana karya tersebut dikarang pada tahun 1847. Dalam dua karyanya yang disebut pertama Gurindam Dua Belas dan Bustan al-Katibin Raja Ali Haji lebih terfokus pada upaya mengetengahkan keprihatinan dan menggagas upaya awal untuk memperbaiki beberapa konsep dan tata bahasa Melayu. Dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, sebagaimana tampak dalam judulnya, ia secara tegas menghadirkan satu karya yang dirancang untuk menjadi rujukan utama dalam bahasa Melayu.
Pada karya lainnya, Raja Ali Haji menulis sebuah buku yang berjudul Pedoman Bahasa. Melalui buku Pedoman Bahasa tersebut, dasar-dasar dan tata bahasa Melayu pertama kali diperkenalkan. Buku pedoman bahasa Raja Ali Haji menjadi bahasa melayu standar yang kemudian pada kongres pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 dijadikan sebagai bahasa nasional Indonesia. tidak hanya itu, karya lain yang juga sarat akan makna kehidupan adalah Gurindam dua belas. Lewat sajak berisi dua belas pasal tersebut, petuah dan buah pikir RAH sangat mendalam dan aplikatif hingga sekarang. Gurindam dua belas juga menjadi pembaru arus sastra pada eranya.
Akhir dari Raja Ali Haji
Pada tanggal 17 Desember 2020, pantun telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda pada sidang XV Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Kantor Pusat UNESCO di Paris, Prancis. Layak diyakini bahwa jasa-jasa pengabdian Raja Ali Haji bin Raja Ahmad kepada kebudayaan Nusantara memiliki pengaruh tersendiri terhadap pengakuan pantun sebagai warisan kebudayaan dunia oleh UNESCO.
Dalam hidupnya, Raja Ali Haji adalah sosok yang sangat gigh dan tekun. Walau hidup dalam tekanan imperium Belanda, Raja Ali Haji mampu melahirkan karya dari berbagai bidang. Tahun 1807 Raja Ali Haji meninggal dunia. Makamnya dapat di jumpai di komplek pemakaman Engku Putri Raja Hamidah pulau Penyengat-Riau.
(Dari Iwan Sulistyo, dimuat dalam Harian Haluan, 29/6/2013, http://issuu.com/haluan/docs/hln290613)
Pemerintah dan Komisi I DPR-RI akan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN atau Komcad).
Wacana menjadikan pasal Komcad “naik kelas” menjadi suatu UU tersendiri bukanlah hal baru dan mengejutkan. Sebab, sejak UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disahkan, pada saat yang sama Komcad (dan Komponen Pendukung) juga harus disiapkan (lihat Pasal 7 dan 8).
Pemerintah berhadapan dengan kondisi dilematis. Tidak menyiapkan Komcad berarti tidak menjalankan amanat UU Pertahanan; dan itu adalah pelanggaran serius. Kecuali karena muncul penolakan yang keras dari masyarakat atau alasan politis lain, pemerintah akhirnya memang berpikir untuk merevisi atau mewujudkannya dengan cara yang “agak fleksibel” bagi kepentingan nasional.
Mengingat UU Komcad adalah amanat UU Pertahanan, saya berpandangan, ia penting dan mendesak dalam sistem pertahanan semesta yang kita anut. Namun, bukan dalam aspek mobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM)-nya, tetapi lebih kepada bagaimana menyiapkan dan merumuskan bentuk atau pengerahan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional (lihat Pasal 6 RUU Komcad).
Dengan kata lain, upaya mempertangguh pertahanan Indonesia, untuk saat sekarang, harus tetap fokus pada komponen utama, yakni Tentara Nasional Indonesia (TNI), melalui pemutakhiran teknologi alutsista (alat utama sistem persenjataan). Agar deterrent effect dapat bekerja dengan signifikan dan kredibel, Indonesia diharapkan sanggup mengimbangi postur (kekuatan dan kemampuan) pertahanan sejumlah “negara kunci” di Asia Tenggara (Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina). Bila Minimum Essential Forces (MEF) belum terjangkau, pemerintah harus mengupayakan pembelian alutsista yang teknologinya setara dengan empat negara tetangga itu. (Artikel saya terkait persoalan pertahanan Indonesia dalam konteks Dilema Keamanan dan Perimbangan Kekuatan di Asia Tenggara pernah dimuat dalam Haluan, 22/3/2012).
Sebagai negara kepulauan, arah pertahanan (penganggaran dan pembelian alutsista) hingga 2024 selayaknya tetap dititik-beratkan pada kekuatan maritim, dengan tidak abai akan matra udara dan darat.
Dalam menyusun kebijakan pertahanannya (mulai dari sistem, strategi, postur, hinga menghitung anggaran), setiap negara akan selalu merumuskan ancaman yang ia hadapi atas dasar analisis terhadap dinamika lingkungan strategis. Buku Putih Pertahanan Indonesia, baik yang terbitan 2003 maupun 2008, menyebutkan secara eksplisit bahwa, ke depan, ancaman tradisional (invasi atau agresi militer dari negara luar) kemungkinannya kecil. Namun, bukan berarti Indonesia abai akan kesiapsiagaannya.
Nah, jika pemerintah memahami dan menyadari esensi dari persepsi/perkiraan ini, tentunya RUU Komcad, khususnya “keharusan untuk mobilisasi SDM”, masih dapat dikesampingkan.
Lazimnya, negara yang survive secara jangka panjang ialah negara yang tangguh dan piawai dalam mengawaki pelbagai diplomasi serta mengelola sumberdaya pertahanannya secara paripurna. Mengisi “soft power” dan “smart power” dengan sumberdaya pertahanan yang cemerlang tentu tak kalah pentingnya dengan menyokong “hard power”.
Masih menyimpan ragam persoalan, diskusi tentang RUU Komcad tentu bisa meluas dan dapat diteropong dari pelbagai perspektif. Saya melihat, setidaknya ada dua masalah besar. Pertama, soal status “sipil” dan “kombatan” seseorang. Mewajibkan Pegawai Negeri Sipil (PNS), pekerja dan/atau buruh serta masyarakat sipil lainnya untuk mobilisasi guna mendukung TNI di dalam pertahanan niscaya memunculkan dampak serius dan bahkan berbahaya (cermati Pasal 8, 29, dan 30 RUU Komcad).
Bagi para mantan prajurit TNI, tentu relatif tak ada masalah. Bagaimana jika PNS, buruh/pekerja, dan masyarakat sipil yang sudah terlatih untuk mengangkat senjata diam-diam aktif terlibat politik praktis? Mereka, misalnya, kecewa dengan hasil perolehan suara dan ternyata berkonflik dengan pendukung pasangan lain? Bukankah cukup berisiko bila para buruh menggelar aksi unjuk rasa dan berhadapan dengan aparat kepolisian?
Sebagai manusia, tidak ada jaminan emosi mereka dapat dikendalikan, apalagi jika dikaitkan dengan kultur. Walau sudah agak cerdas; tetapi, saya rasa, sebagian masyarakat kita masih belum matang dalam menggelar demokrasi prosedural; utamanya di tingkat provinsial dan lokal.
Tidak ada jaminan, di dalam “masa damai” (bukan dalam kondisi latihan dasar kemiliteran dan mobilisasi untuk perang), sipil yang telah terlatih akan cukup kuat untuk menjaga stabilitas dan dinamika di lapangan. Tak mampu menahan diri, jangan-jangan gesekan kecil dalam interaksi sosial keseharian justru dapat menjadi pemicu konflik bersenjata antarindividu atau antarkelompok.
Cukup sulit mengawasi implementasi di lapangan ketika anggota Komcad yang kembali ke statusnya semula (menjadi warga sipil) untuk melepaskan “status kombatan”-nya. Jadi, persoalannya bukanlah perhitungan ideal dan seberapa besar dana yang hendak dianggarkan dari Produk Domestik Bruto (PDB) bagi Komcad, tapi lebih kepada implikasi sosial-politik dalam jangka waktu tertentu yang akan dipikul.
Bila pembentukan SDM Komcad dipandang mendesak, pemerintah bisa memulainya dengan merumuskan tahapan awal. Gagasan mengintegrasikan semua anggota resimen mahasiswa (menwa) secara langsung ke dalam komponen cadangan, misalnya, mungkin adalah suatu yang efisien, masuk akal, dan tepat sasaran.
Atau, bisa juga integrasi dari kalangan masyarakat sipil yang ketika mahasiswa pernah digembleng sebagai menwa di kampus. Sementara, generasi muda cemerlang yang pernah menang di gelanggang olimpiade internasional (ilmu eksakta), tidak mesti ikut serta dalam latihan fisik kemiliteran dan “angkat senjata”. Sebaliknya, mereka justru dapat berkontribusi dengan cara yang lain untuk pertahanan kita. Sebagai penyangga komponen utama, mereka dapat berkiprah dalam “perang otak”, “perang ilmu pengetahuan”, “perang keunggulan teknologi”, dan “perang daya cipta dan inovasi produk militer”.
Konversi “sumberdaya manusia yang unggul” ini ke semua industri strategis pertahanan (PT Pindad, PT PAL, PT DI, dll.) adalah langkah yang sangat produktif. Di sini akan jelas terlihat betapa pertahanan militer dan nirmiliter saling berpadu dan tak terpisahkan. Bukankah itu juga bagian dari apa yang disebut sebagai “pertahanan semesta”; suatu pertahanan dalam arti yang sangat luas?
Maka, anggota Komcad dari unsur SDM sejatinya tetap pada “fungsi alamiah dan nirmiliter”-nya, yakni mendukung, mempertahankan, dan memenangkan “perang keunggulan antarbangsa” serta memperkuat nilai-nilai luhur dan kekayaan budaya.
Kedua, soal sanksi pidana bagi SDM yang sengaja tidak mematuhi panggilan menjadi bagian dari Komcad tanpa alasan yang sah dan/atau tipu muslihat sehingga ia tidak ikut (cermati Pasal 38-42). Menyimak lemah dan runyamnya penegakan hukum akhir-akhir ini, cukup rumit jika pemerintah memberi sanksi pidana penjara bagi warganya. Dari rangkaian pasal terkait pidana ini, mungkin kita masih harus merenung dan mengkaji secara jernih. Saya lebih melihat sanksi pidana bagi yang tidak mengerahkan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional bagi kepentingan pertahanan sebagai ketentuan yang lebih tepat dan relevan karena terkait erat dengan dimensi “ekonomi-politik”.
Jika sanksi ini didasarkan pada pemikiran bahwa “membela negara oleh warga adalah suatu kewajiban”, maka kita juga harus fair dalam melihat persoalan hak dan kompensasi yang harus diterima warga negara dari pemerintah. Ketika, misalnya, prajurit TNI dibatasi hak politiknya (tidak memilih dan dipilih) dan bahkan memiliki risiko tinggi saat keputusan politik negara dijalankan, mereka layak memperoleh kompensasi yang cukup, termasuk bagi keluarga mereka.
Kalau jumlah personel militer dirasa masih kurang atau belum kuat, proses rekruitmen hingga mencapai rasio yang ideal tentu harus ditempuh dengan tetap mencukupi kesejahteraan mereka. Dengan begitu, status kombatan dan pelbagai sanksi yang mengikatnya jelas. Alhasil, di sini konsep “kepentingan negara” dan “kepentingan pemerintah” menjadi krusial.
Semangat reformasi yang menggebu-gebu sejak 1998 hingga kini telah mendorong segenap elemen bangsa untuk menata-ulang pelbagai aspek kehidupan, termasuk di sektor keamanan (security sector reform). Karena itu, UU Pertahanan dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI berisi semangat itu; dimana militer tidak berbisnis dan tidak lagi ikut dalam politik praktis. Mereka hanya boleh tunduk pada keputusan politik negara. Intinya, pembenahan sistem dan pelbagai institusi di sektor keamanan di arahkan kepada “tatanan yang ideal” untuk mendukung nilai-nilai demokrasi, supremasi sipil, dan hak asasi manusia.
Pada akhirnya, perang dan damai adalah dua kondisi yang memang dekat dengan kita. Tetapi, tampaknya, karena “perang terlalu penting jika hanya diserahkan kepada para jenderal saja” dan “damai terlalu rumit untuk jadi urusan para politisi sipil saja”, maka “semesta” berperan dalam mengawal jalan panjang security sector reform di Indonesia. Jangan sampai UU Komcad nantinya dianggap sebagai “produk yang terburu-buru”. (*)